Puluhan seniman, budayawan, dan aktivis lingkungan dari Provinsi Riau berkumpul di halaman Bandar Seni Raja Ali Haji (Serai) Kota Pekanbaru pada Jumat malam, 15 September 2023. Mereka mengadakan aksi dan menyuarakan sikap mereka terkait upaya relokasi yang sedang berlangsung di Pulau Rempang dan Galang, Batam, Kepulauan Riau. Dalam aksi ini, mereka mengutip pandangan bahwa masyarakat Melayu Riau dan Kepulauan Riau adalah seperti kakak adik yang tak terpisahkan.

Acara dimulai dengan pembacaan doa bagi masyarakat Melayu Rempang dan Galang, dengan kehadiran tokoh masyarakat Riau, Azlaini Agus, serta puluhan seniman, budayawan, dan aktivis lingkungan. Para peserta duduk bersila di depan Anjungan Seni Idrus Tintin, sementara personel Polsek Bukit Raya Polresta Pekanbaru dan Laskar Melayu Bersatu memantau jalannya acara.

Setelah pembacaan doa, mereka mengumandangkan puisi berjudul “Tanah Air Mata” karya Presiden Penyair Indonesia Sutarjdi Calzoum Bachri. Puisi ini menggambarkan penderitaan dan perjuangan terkait tanah air dan dibawakan secara teaterikal oleh Rumah Sunting.

Tidak hanya seniman dan budayawan, dua organisasi nirlaba lingkungan terkemuka, Jaringan dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, juga aktif terlibat dalam aksi solidaritas untuk masyarakat Rempang dan Galang. Mereka menampilkan film dokumenter tentang kedua pulau ini kepada puluhan warga yang hadir.

Koordinator Media dan Hukum Walhi Riau, Ahlul Fadhli, menjelaskan bahwa Pulau Rempang memiliki luas sekitar 165 km persegi, yang menjadikannya pulau kecil berdasarkan definisi UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Oleh karena itu, pengelolaan Pulau Rempang seharusnya diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat daripada investasi besar. Solidaritas ini menekankan penolakan terhadap relokasi masyarakat Rempang dan Galang, yang dipandang tidak hanya dari aspek lingkungan, tetapi juga aspek sosial dan budaya. Mereka percaya bahwa pembangunan yang mengabaikan hak asasi manusia adalah suatu bentuk kemunduran.

Walhi Riau memperkirakan bahwa antara 13.000 hingga 20.000 jiwa dari 16 kampung akan menjadi korban relokasi. Investasi skala besar dikhawatirkan akan meningkatkan risiko bencana dan mengancam kehidupan masyarakat di dua pulau yang dianggap sebagai tempat bersejarah bagi masyarakat Melayu di Batam, Rempang, dan Galang (Barelang).

Ahlul Fadhli juga menyoroti bahwa pembangunan harus sejalan dengan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak dasar manusia, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, Pulau Rempang juga memiliki cagar budaya bersejarah, seperti makam, benteng, dan monumen di Desa Sembulang. Cagar budaya ini merupakan bukti keberadaan lama masyarakat Melayu di Pulau Rempang, yang harus dilestarikan sebagai warisan untuk generasi mendatang.

Azlaini Agus memperkuat pernyataan tersebut dengan mengingatkan bahwa masyarakat Melayu Galang telah berada di Pulau Rempang dan Galang sejak tahun 1720 pada masa pemerintahan Sultan Kesultanan Johor-Riau. Mereka adalah bagian dari Laskar Kesultanan Johor-Riau-Lingga yang berperan penting dalam sejarah perang melawan VOC, seperti Perang Riau I pada tahun 1782-1784.

Sejarah mencatat bahwa mereka bertahan di Pulau Rempang, Galang, dan Bulang selama Perang Riau II pada tahun 1784-1787 dan bahkan ketika kesultanan berpindah ke Lingga. Mereka adalah laskar pertahanan yang kuat dan pemberani, yang berkontribusi besar dalam menjaga kesultanan tetap utuh. Pernyataan Azlaini ini sejalan dengan catatan sejarah bahwa Kesultanan Riau-Lingga baru berakhir pada tahun 1913.

Perang Riau, terutama Perang Riau I, merupakan perang laut terakhir yang melibatkan VOC. Perusahaan swasta Belanda itu sendiri bubar pada tahun 1799. Solidaritas yang ditunjukkan dalam aksi ini menegaskan pentingnya melindungi hak asasi manusia dan warisan budaya, serta menentang pembangunan yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Masyarakat Pulau Rempang dan Galang berjuang untuk hak mereka dan eksistensi mereka yang telah lama terjaga, dan mereka menyerukan agar negara memprioritaskan kemanusiaan dalam proses pembangunan.